Petani

Tantangan Petani AS di Tengah Janji Impor Kedelai Tiongkok

Tantangan Petani AS di Tengah Janji Impor Kedelai Tiongkok
Tantangan Petani AS di Tengah Janji Impor Kedelai Tiongkok

JAKARTA - Harapan baru muncul bagi para petani kedelai Amerika Serikat (AS) setelah Tiongkok berjanji membeli jutaan ton kedelai dari Negeri Paman Sam dalam beberapa tahun mendatang. 

Namun, di balik optimisme tersebut, tersisa kenyataan pahit: pasar pertanian AS sudah mengalami kerusakan struktural akibat perang dagang panjang antara dua kekuatan ekonomi dunia itu.

Selama bertahun-tahun, Tiongkok menjadi pembeli utama kedelai AS, menampung hampir separuh ekspor nasional. Tapi, ketika konflik tarif memuncak sejak 2018 di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, Tiongkok beralih ke Brasil dan negara Amerika Selatan lainnya untuk memenuhi kebutuhan pasokannya.

“Kami kehilangan pangsa pasar dalam perang dagang terakhir yang tidak pernah kami dapatkan kembali,” kata Faith Parum, ekonom di American Farm Bureau Federation, dikutip dari MarketWatch.

Janji Baru dari Beijing: Harapan atau Sekadar Penawar Luka?

Dalam kesepakatan perdagangan yang diumumkan 1 November, Gedung Putih menyatakan bahwa Tiongkok akan membeli sedikitnya 12 juta metrik ton kedelai AS selama dua bulan terakhir tahun ini, dan 25 juta metrik ton per tahun untuk tiga tahun berikutnya.

Sebelum kesepakatan ini, Tiongkok belum membeli kedelai AS sama sekali sejak dimulainya tahun pemasaran pada September.

Menurut Parum, komitmen baru tersebut memberi sinyal positif bagi stabilisasi pasar.

“Komitmen pembelian Tiongkok ini membawa kita kembali ke kondisi sebelum perang dagang. Ini titik awal yang kuat, dan pembelian sebenarnya dapat melebihi batas minimum tersebut jika kondisi pasar menguntungkan,” ujarnya.

Namun, di balik janji itu, terdapat realitas yang tak bisa diabaikan. Brasil dan Argentina kini telah memantapkan diri sebagai pemasok utama kedelai ke Tiongkok. Bahkan, Brasil mengirimkan sekitar 2,5 miliar bushel kedelai tahun ini — jumlah yang jauh melampaui ekspor AS.

Arlan Suderman, Kepala Ekonom Komoditas di StoneX, menilai bahwa Tiongkok telah lama mempersiapkan ketergantungannya terhadap Brasil.

“Selama dua dekade terakhir, Tiongkok berinvestasi besar dalam pertanian dan infrastruktur Brasil. Kini, Brasil mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan impor kedelai Tiongkok — bahkan dengan harga yang lebih murah,” jelasnya.

Harga dan Tarif: Hambatan Baru bagi Petani AS

Meskipun kesepakatan baru memicu kenaikan harga kedelai berjangka di Chicago, kenyataannya produk AS masih kalah bersaing dari sisi harga. Tiongkok tetap memberlakukan tarif balasan 10% terhadap kedelai AS, sehingga membuatnya sekitar US$ 1,50 per bushel lebih mahal dibandingkan kedelai dari Brasil.

Harga kedelai untuk pengiriman Januari tercatat US$ 11,17 per bushel, namun biaya tambahan akibat tarif membuat ekspor ke Tiongkok kurang menarik secara ekonomi.

“Kedelai hasil panen baru Brasil hampir pasti akan lebih murah daripada kedelai AS setelah panen dimulai di sana,” tambah Suderman, menyoroti pengaruh perbedaan kurs mata uang.

Kondisi ini menimbulkan pesimisme di kalangan petani.
Ed Hodgson, petani di Rice County, Kansas, mengatakan bahwa ia tidak percaya perdagangan kedelai akan kembali seperti dulu.

“Saya rasa pembelian kedelai oleh Tiongkok tidak akan pernah kembali ke level sebelum tarif. Negara penghasil berbiaya rendah akan terus memenuhi kebutuhan Tiongkok,” ujarnya.

Bahkan, bantuan darurat senilai US$ 13 miliar yang dijanjikan pemerintah hanya dianggap “penolong sementara.”

“Itu hanya membantu kami bertahan sampai akhir tahun, tapi tidak cukup untuk membawa kami ke musim tanam 2026,” tambah Hodgson.

Politik, Subsidi, dan Janji yang Tak Selalu Terealisasi

Pemerintahan Trump disebut tengah mempertimbangkan paket bantuan senilai US$ 10 miliar atau lebih untuk para petani. Namun, banyak yang menilai kebijakan itu lebih bersifat politis ketimbang solusi jangka panjang.

Jake Hanley, Direktur Pelaksana di Teucrium, menilai bahwa petani AS tetap menjadi pihak yang paling dirugikan dalam konflik dagang.

“Sayangnya, tidak ada yang benar-benar ‘didapatkan’ untuk petani kita. Mereka tetap terjebak di tengah perang dagang sebagai target yang paling rentan,” katanya.

Hanley juga mencatat bahwa meski harga kedelai sempat naik setelah pengumuman perjanjian, pembeli Tiongkok tetap memilih kedelai Brasil.

“Ini momen ‘tunjukkan uangnya’ bagi pasar biji-bijian. Kenaikan harga butuh bukti nyata, bukan sekadar harapan,” ujarnya.

Diversifikasi Pasar Jadi Kunci Bertahan

Meskipun hubungan dagang dengan Tiongkok masih rapuh, ada titik terang bagi petani AS. Permintaan global terhadap kedelai tetap kuat, terutama dari negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia.

“Mendiversifikasi basis ekspor membuat petani AS tidak terlalu bergantung pada satu pembeli dan membantu membangun permintaan global jangka panjang,” kata Parum.

Wakil Sekretaris Pers Gedung Putih Anna Kelly juga menegaskan bahwa kebijakan perdagangan Trump telah membuka peluang ekspor baru.

“Keberhasilan Presiden Trump dalam membuka pasar Tiongkok, Eropa, Inggris, Jepang, Vietnam, dan banyak pasar asing lainnya untuk kedelai AS akan membuahkan hasil dalam jangka panjang,” ujarnya.

Namun, Arlan Suderman mengingatkan bahwa butuh waktu bertahun-tahun sebelum pasar domestik dan mitra baru benar-benar bisa menggantikan Tiongkok sebagai pembeli utama.

“Perjanjian Tiongkok membantu menjembatani kesenjangan itu sementara permintaan domestik sedang dibangun,” jelasnya.

Menuju Perdagangan yang Lebih Stabil dan Adil

Meskipun skeptisisme masih kuat, gencatan senjata dagang antara AS dan Tiongkok memberi sedikit kelegaan bagi pasar pertanian.

“Yang penting sekarang adalah menegakkan komitmen sehingga petani memiliki akses yang konsisten dan terprediksi ke pasar,” ujar Parum menutup.

Ia menegaskan bahwa stabilitas pasar, persaingan yang adil, dan perjanjian dagang yang dapat ditegakkan akan menjadi faktor penentu bagi masa depan kedelai AS.

Kesepakatan baru ini mungkin belum menyembuhkan luka lama perang dagang, tetapi memberi sinyal bahwa diplomasi ekonomi masih menjadi jalan terbaik untuk menjaga keberlanjutan sektor pertanian Amerika — sektor yang telah lama menjadi tulang punggung ekonomi pedesaan negeri itu.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index