JAKARTA - PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) terus mendorong proyek hilirisasi mineral bauksit menjadi aluminium untuk meningkatkan nilai tambah industri nasional.
Langkah ini sejalan dengan target pengembangan kapasitas produksi dan integrasi hulu-hilir di sektor aluminium.
Fokus utama Inalum saat ini berada pada empat proyek strategis, mulai dari Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) hingga pembangunan smelter aluminium baru. Tujuannya, menekan ketergantungan impor dan memperkuat kemandirian industri logam ringan.
Direktur Pengembangan Usaha Inalum, Arief Haendra, menyebutkan bahwa SGAR Fase I di Mempawah, Kalimantan Barat, tengah dalam tahap commissioning dengan kapasitas 1 juta ton alumina. “Mulai bulan Juli 2025, Inalum tidak lagi mengimpor alumina karena pasokan dari SGAR Fase I telah tersedia,” jelas Arief.
SGAR Fase II dan Kolaborasi Investasi dengan Danantara
Setelah Fase I, Inalum dan Antam menyiapkan SGAR Fase II. Studi kelayakan atau bankable feasibility study diperkirakan rampung bulan ini, dengan Final Investment Decision ditargetkan pada Desember 2025.
Pembangunan SGAR Fase II akan menelan investasi antara US$ 700–800 juta atau sekitar Rp 11,7–13,3 triliun. Inalum menggandeng Danantara untuk membantu pendanaan proyek, sambil membuka opsi pinjaman tambahan bila diperlukan.
Fasilitas ini ditargetkan beroperasi pada akhir 2028 atau awal 2029, dengan kapasitas 1–2 juta ton alumina. Dengan tambahan ini, total pasokan alumina mencapai 2 juta ton untuk mendukung seluruh proyek hilirisasi.
Smelter Aluminium Baru dan Integrasi Hulu-Hilir
Proyek ketiga Inalum adalah pembangunan smelter aluminium baru di Kuala Tanjung, Sumatera Utara, dengan kapasitas produksi 600.000 ton. Proyek ini membutuhkan sekitar 1,2 juta ton alumina dari SGAR Fase I dan II.
Selain itu, kelebihan pasokan alumina akan dialokasikan ke smelter existing untuk meningkatkan produksi. “Kami membangun integrasi dari bauksit, refinery, hingga smelter, sehingga nilai tambah tetap di dalam negeri,” terang Arief.
Kebutuhan energi menjadi salah satu tantangan utama. Di Mempawah, belum tersedia pembangkit listrik besar, sementara opsi energi nuklir baru tersedia tahun 2045–2050. Inalum pun mempertimbangkan PLTU 1 GW, namun lebih memilih membeli listrik melalui power purchase agreement 30 tahun.
Potline 4 dan Aluminium Ramah Lingkungan
Proyek keempat adalah Potline 4 di smelter Kuala Tanjung, yang akan meningkatkan kapasitas 100.000 ton aluminium menjadi 200.000 ton. Dengan dukungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), aluminium yang dihasilkan tergolong green aluminium, mendukung target keberlanjutan industri.
Hilirisasi juga menargetkan pertumbuhan konsumsi aluminium domestik, yang saat ini hanya 1,5 kg per kapita per tahun. Bandingkan dengan negara maju seperti Eropa dan China yang mencapai 20 kg per kapita. Arief menilai substitusi aluminium untuk kayu dan plastik dapat meningkatkan permintaan.
Kenaikan harga aluminium global juga mendukung prospek Inalum. Pada 2025, harga aluminium berada di level US$ 2.800 per ton, terdorong oleh substitusi tembaga dan gangguan pasokan. Arief memproyeksikan harga aluminium pada 2026 stabil di level US$ 2.600–2.700 per ton.
Dampak Positif bagi Industri dan Ekonomi
Proyek hilirisasi ini tidak hanya meningkatkan kapasitas produksi, tapi juga mendukung industri kendaraan listrik, konstruksi, listrik, kemasan, dan permesinan. Dengan strategi hulu-hilir, Inalum memaksimalkan penggunaan bauksit domestik serta mengurangi ketergantungan impor.
Kenaikan harga aluminium diperkirakan akan menambah pendapatan Inalum tanpa meningkatkan biaya operasional. Setiap kenaikan 5% harga aluminium, pendapatan Inalum akan naik sebanding, sehingga mendukung kesinambungan investasi dan penciptaan lapangan kerja.
Arief menegaskan, proyek-proyek ini juga selaras dengan agenda nasional, mengintegrasikan energi terbarukan, mendorong hilirisasi industri, dan memperkuat daya saing aluminium Indonesia di pasar global.