JAKARTA - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai revisi Perpres 112 Tahun 2022 berpotensi mengancam target transisi energi nasional.
Revisi ini mengusulkan pelonggaran syarat pembangunan PLTU batu bara baru dan pengaturan PLT hibrida, yang memungkinkan kombinasi energi fosil dengan energi terbarukan.
Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo, menyatakan PLT hibrida akan meningkatkan emisi ketenagalistrikan dari rata-rata 0,85–0,87 kgCO₂e/kWh saat ini. Hal ini bisa menurunkan daya saing industri yang tengah dituntut efisiensi dan elektrifikasi untuk mengurangi jejak karbon.
Dampak Terhadap Industri dan Ekspor
Menurut Deon, penggunaan energi fosil yang diperpanjang berisiko membuat produk Indonesia kalah bersaing di pasar global, termasuk ekspor ke Uni Eropa yang kini memiliki standar emisi ketat.
“Kondisi ini bisa menghambat target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen,” ucap Deon. PLT hibrida justru berpotensi memperpanjang ketergantungan pada batu bara dan menaikkan emisi gas rumah kaca.
IESR menekankan PLT hibrida seharusnya hanya menggabungkan energi terbarukan untuk mendukung transisi bersih. Jika dominasi energi fosil tetap dipertahankan, perusahaan multinasional terutama anggota RE100 bisa menahan ekspansi atau meninggalkan Indonesia.
Kontradiksi dengan Ambisi Nasional
IESR menilai pembangunan PLTU baru bertentangan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto, yang menargetkan 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan. Alternatif seperti pengembangan panas bumi, hidro, surya, dan angin dipadukan dengan sistem penyimpanan energi bisa menjaga keandalan jaringan tanpa menambah PLTU.
CEO IESR, Fabby Tumiwa, menekankan laju transisi energi global yang cepat seharusnya mendorong penguatan ketentuan pengakhiran PLTU pada 2050. Larangan pembangunan PLTU baru sejalan dengan komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk mencapai 34 persen bauran energi terbarukan pada 2030.
Sinyal Negatif untuk Investasi
Fabby menambahkan, kebijakan yang permisif terhadap PLTU dapat menurunkan kredibilitas Indonesia dan memberi sinyal negatif bagi investor. Ketidakkonsistenan ini bisa merusak kepercayaan pasar terhadap aspirasi transisi energi nasional.
IESR menyerukan agar pemerintah memperkuat kebijakan transisi energi, fokus pada energi bersih, dan mendorong inovasi teknologi untuk menjaga keandalan sistem ketenagalistrikan. Pendekatan ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing industri sekaligus memastikan target pengurangan emisi tercapai.