JAKARTA - Ketika kebutuhan energi dan pangan nasional diproyeksikan melonjak dalam beberapa tahun ke depan, pemerintah mengambil langkah strategis yang kembali menempatkan industri sawit di pusat perhatian.
Indonesia, produsen minyak sawit terbesar di dunia, berencana membuka 600.000 hektare lahan sawit baru sebagai respons atas produksi yang stagnan sejak beberapa tahun terakhir.
Keputusan ini menandai ekspansi skala besar pertama sejak moratorium pembukaan lahan berakhir empat tahun lalu dan memicu diskusi baru mengenai arah kebijakan perkebunan nasional, kesejahteraan petani kecil, serta dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Plt. Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Abdul Roni Angkat, menjelaskan alasan pemerintah mengambil langkah besar ini. "Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan produksi minyak sawit guna memenuhi perkiraan peningkatan permintaan pangan dan swasembada energi," ujarnya dalam konferensi industri di Nusa Dua, Bali.
Dengan kebutuhan biodiesel yang terus meningkat dan tekanan terhadap pasokan global, rencana ekspansi tersebut diposisikan sebagai solusi jangka panjang memastikan ketahanan energi dan kelancaran rantai pasokan pangan nasional.
Porsi Besar untuk Petani Plasma dan PalmCo
Roni memaparkan bahwa ekspansi 600.000 hektare itu akan dilakukan secara bertahap selama empat tahun. Dari total area tersebut, 400.000 hektare akan disiapkan untuk skema perkebunan plasma.
Program plasma selama ini menjadi tulang punggung keterlibatan petani kecil, karena mereka bekerja sama dengan perusahaan mitra dalam rantai produksi. Pemerintah berharap alokasi besar untuk plasma dapat mendorong kesejahteraan petani sekaligus meningkatkan produktivitas.
Sisa 200.000 hektare direncanakan diberikan kepada perusahaan negara PalmCo, entitas baru yang dibentuk untuk mengkonsolidasikan perkebunan BUMN. Namun Roni menegaskan bahwa perusahaan swasta juga dipersilakan untuk berpartisipasi apabila PalmCo tidak dapat menyerap seluruh lahan yang ditargetkan.
Meski begitu, satu hal penting langsung disorot publik: sumber lahan baru tersebut. Roni menyampaikan kepada wartawan bahwa pemerintah tidak akan membuka hutan untuk pelaksanaan program ini.
Namun ia tidak menjelaskan secara rinci jenis lahan non-hutan yang akan digunakan. Pernyataan ini kemudian mengundang pertanyaan karena batasan definisi “bukan hutan” sering kali memunculkan interpretasi berbeda di lapangan.
Keraguan tersebut disuarakan oleh Greenpeace. "Ini akan menyebabkan kerusakan lingkungan, konflik agraria, dan ini bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi," kata juru kampanye Greenpeace, Rio Rompas.
Ia menilai bahwa ketersediaan lahan non-hutan sangat terbatas, sehingga risiko alih fungsi kawasan berhutan tetap tinggi.
Produksi Berpotensi Naik Dua Juta Ton
Di tengah perdebatan, pemerintah meyakini bahwa langkah ini akan berdampak signifikan terhadap peningkatan produksi. Menurut estimasi Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementerian Pertanian, Baginda Siagian, perluasan lahan dapat menghasilkan tambahan produksi minyak sawit sekitar 2 juta ton.
Saat ini, perkebunan kelapa sawit Indonesia memiliki luas sekitar 16 juta hektare.
Namun produktivitasnya menurun, dengan hasil panen rata-rata turun dari lebih dari 4 ton per hektare pada 2020 menjadi hanya 3,8 ton per hektare. Penurunan produktivitas terjadi meski moratorium izin baru diberlakukan selama 2018–2021 untuk memperbaiki tata kelola industri.
Sejumlah analis menilai bahwa pelemahan produktivitas disebabkan oleh tingginya porsi tanaman tua serta lambatnya realisasi program peremajaan sawit rakyat (PSR).
Pemerintah sebenarnya telah meluncurkan skema peremajaan bersubsidi untuk petani kecil, namun realisasinya masih jauh dari target. Sejak program tersebut diluncurkan pada 2016, baru sekitar 400.000 hektare yang mendapatkan rekomendasi PSR, padahal target mencapai 2,5 juta hektare.
Akibatnya, sebagian pihak menilai bahwa produktivitas dapat ditingkatkan tanpa pembukaan lahan baru, selama program PSR dipercepat. Namun bagi pemerintah, ekspansi lahan tetap dianggap perlu mengingat permintaan domestik yang naik signifikan.
Dorongan Biodiesel B50 dan Dampaknya pada Ekspor
Ekspansi lahan sawit juga berkaitan langsung dengan agenda energi nasional. Pemerintah berencana meningkatkan campuran wajib biodiesel dari 40% menjadi 50% atau B50 pada paruh kedua tahun depan.
Kenaikan ini akan menambah kebutuhan minyak sawit untuk pasar domestik, sehingga sebagian pasokan yang semula tersedia untuk ekspor kemungkinan besar akan berkurang.
Kebijakan biodiesel selama ini dipuji karena mampu mengurangi ketergantungan impor solar dan memperkuat ketahanan energi. Namun konsekuensinya adalah peningkatan beban terhadap produksi minyak sawit nasional.
Dengan produksi yang stagnan dan penurunan produktivitas, pemerintah menilai ekspansi lahan adalah salah satu upaya memperkuat pasokan bahan baku biodiesel.