JAKARTA - Setiap pagi, matahari menyalakan kembali kehidupan di tanah Nusantara.
Sinar yang sama membasuh sawah, gunung, dan laut — menyatukan keberagaman dalam kehangatan yang sederhana. Namun di bawah cahaya itu pula, muncul kontras kehidupan: sebagian hidup dalam kelimpahan energi, sementara sebagian lain masih berjuang menyalakan pelita kecil di malam hari.
Energi, yang sejatinya sumber kehidupan, telah menjelma menjadi sumber ketimpangan. Indonesia kini dihadapkan pada pertanyaan mendasar.
bagaimana memastikan energi tidak sekadar menerangi gedung-gedung megah dan kawasan industri, tetapi juga membawa kesejahteraan dan keadilan hingga ke pelosok negeri, tanpa melukai bumi yang menjadi rumah kita bersama?
Dalam konteks ini, pembangunan energi tidak dapat hanya diukur dengan angka cadangan minyak, target bauran energi, atau kapasitas listrik. Lebih dari itu, energi memiliki makna spiritual yang mendalam — sesuatu yang telah lama hidup dalam kebijaksanaan budaya Nusantara.
Energi dalam Pandangan Leluhur: Daya yang Hidup dan Menghidupi
Bagi masyarakat Nusantara, energi bukan sekadar hasil teknologi, melainkan daya kehidupan yang hadir di setiap elemen alam: dalam aliran air, desir angin, bara api, dan bahkan dalam denyut jantung manusia.
Energi adalah wujud hubungan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Ketika manusia lupa pada keseimbangan itu, energi kehilangan maknanya dan berubah menjadi alat keserakahan.
Prinsip memayu hayuning bawana — memperindah dan menjaga harmoni dunia — serta ajaran urip iku urup — hidup yang memberi terang bagi sesama — mencerminkan pandangan ekologis yang mendalam.
Falsafah ini menegaskan bahwa energi sejati bukan yang diambil sebanyak-banyaknya, melainkan yang dikelola dengan kesadaran dan dibagi dengan keadilan.
Manusia, dalam pandangan leluhur, berperan sebagai penjaga keseimbangan antara bumi dan langit. Ketika cipta (pikiran), rasa (perasaan), dan karsa (kehendak) berada dalam harmoni, kehidupan pun berlangsung selaras. Tetapi ketika ketiganya berjalan tanpa kendali, lahirlah kerakusan dan kerusakan.
Krisis energi hari ini, sesungguhnya, bukan semata tentang keterbatasan sumber daya, melainkan krisis kesadaran manusia. Kita lupa bahwa bumi memiliki batas dan keseimbangan adalah kunci kemakmuran sejati.
Membangun Kemandirian Energi Berbasis Kearifan Lokal
Indonesia memiliki anugerah alam yang luar biasa: sinar matahari melimpah, angin yang tak henti berembus, air dari ribuan gunung, dan tanah yang subur dari Sabang hingga Merauke.
Potensi energi terbarukan ini cukup untuk menerangi seluruh negeri. Namun persoalan utama bukan pada teknologi, melainkan cara pandang kita terhadap energi.
Selama energi dilihat semata sebagai komoditas untuk keuntungan segelintir pihak, ketimpangan akan terus melebar. Energi berdaulat seharusnya menempatkan manusia dan alam sebagai pusat, bukan pasar dan laba.
Dalam semangat gotong royong — nilai luhur yang telah menjadi DNA bangsa — pembangunan energi seharusnya melibatkan masyarakat secara aktif. Desa yang memanfaatkan tenaga surya, mikrohidro, atau biomassa bukan sekadar proyek teknis, melainkan wujud nyata kedaulatan rakyat atas sumber kehidupan mereka.
Sikap nrimo ing pandum sering disalahartikan sebagai pasrah, padahal sesungguhnya mengajarkan keseimbangan ekologis: hidup sesuai kemampuan alam. Dalam bahasa modern, inilah prinsip pembangunan berkelanjutan — mengambil energi secukupnya, menggunakan sebijaknya, dan mengembalikan keseimbangan alam agar tetap lestari.
Menyalakan Kesadaran Baru: Energi sebagai Amanah, Bukan Komoditas
Dunia kini tengah mencari arah baru dalam krisis energi global. Ketika eksploitasi dan konsumsi berlebihan menimbulkan bencana ekologis, nilai-nilai kebijaksanaan Nusantara menawarkan jalan pulang — kembali pada kesadaran bahwa energi adalah amanah, bukan milik mutlak manusia.
Dalam budaya leluhur, semua energi diyakini bersumber dari Yang Maha Kuasa. Karena itu, manusia wajib memperlakukan alam dengan rasa hormat. Dalam doa petani dan nelayan, dalam ritual sebelum menanam atau melaut, tersimpan kesadaran spiritual bahwa kehidupan membutuhkan izin dan keseimbangan.
Jika nilai-nilai ini kembali dihidupkan dalam tata kelola energi modern, maka kebijakan energi tidak lagi bersifat eksploitatif, melainkan berlandaskan tanggung jawab moral dan ekologis.
Ketahanan energi sejati juga tidak terpisahkan dari keadilan sosial. Jurang antara wilayah yang terang dan yang gelap, antara mereka yang berlimpah energi dan yang hidup dalam keterbatasan, harus dihapus.
Akses energi bersih dan terjangkau merupakan hak setiap warga negara. Ketika listrik menyala di desa terpencil, yang menyala bukan hanya lampu, tetapi juga harapan dan masa depan.
Jalan Pulang Nusantara: Harmoni Pengetahuan dan Kebijaksanaan
Untuk mencapai kedaulatan energi yang sejati, bangsa ini perlu membangun sistem nilai yang bersumber dari jati dirinya sendiri — nilai yang menempatkan kesejahteraan bersama di atas keuntungan pribadi, dan melihat alam sebagai mitra, bukan objek eksploitasi.
Pendidikan pun memiliki peran vital. Kesadaran ekologis harus ditanamkan sejak dini — bukan hanya lewat teori, tetapi lewat praktik sederhana seperti menanam pohon, menghemat listrik, dan menghargai air. Dari kesadaran kecil itu, lahirlah peradaban besar yang berakar pada rasa hormat terhadap bumi.
Di tengah arus modernitas yang serba cepat, nilai-nilai kebijaksanaan Nusantara mengajarkan keseimbangan. Kita tidak menolak kemajuan atau teknologi, tetapi menuntun agar keduanya berpihak pada kehidupan.
Ketahanan energi sejati akan lahir dari harmoni antara ilmu dan kebijaksanaan, antara akal dan rasa, antara manusia dan semesta. Di situlah jalan pulang Nusantara — jalan yang menuntun bangsa ini kembali pada kesadaran bahwa bumi bukan warisan untuk dihabiskan, melainkan titipan untuk dijaga.
Energi bukan sekadar kekuatan yang membakar mesin, tetapi cahaya yang menuntun manusia menuju kesejahteraan, keadilan, dan kebijaksanaan. Dan selama kesadaran itu tetap menyala, nyala energi bangsa ini tak akan pernah padam.