OJK

Bos Findaya Minta OJK Pertahankan Bunga Fintech P2P

Bos Findaya Minta OJK Pertahankan Bunga Fintech P2P
Bos Findaya Minta OJK Pertahankan Bunga Fintech P2P

JAKARTA - Direktur Utama PT Mapan Global Reksa atau Findaya, Marcella Chandra Wijayanti, menyoroti pentingnya kebijakan suku bunga fintech P2P lending yang seimbang antara kepentingan konsumen dan pelaku industri. 

Ia berharap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak menurunkan lagi batas maksimum suku bunga layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi (LPBBTI) pada 2026.

Menurut Marcella, suku bunga saat ini sebesar 0,3% per hari sudah cukup ideal dan adil. “Bahkan makin kesini, kalau dia [borrower] sudah punya record yang bagus, bunganya akan terus menurun,” kata Marcella malam. 

Skema bunga yang diterapkan Findaya menyesuaikan dengan profil risiko peminjam, sehingga tidak semua pengguna dikenai bunga maksimum.

Risiko Penurunan Bunga Terhadap Inklusi Keuangan

Marcella menekankan, penurunan suku bunga yang terlalu drastis justru bisa menghambat ruang inovasi fintech dan mengurangi akses bagi peminjam baru dengan profil risiko tinggi. 

Ia mencontohkan, calon peminjam baru, seperti lulusan perguruan tinggi yang belum memiliki riwayat kredit, biasanya dikenai bunga maksimum karena dianggap berisiko tinggi.

“Jika batas bunga terus diturunkan, pelaku industri bisa enggan menyalurkan pinjaman kepada segmen tersebut. Maka tujuan memperluas inklusi keuangan justru bisa terhambat,” ujar Marcella. 

Ia menekankan bahwa kebijakan bunga yang saat ini berlaku memberi ruang bagi fintech untuk menjangkau peminjam baru, sementara peminjam lama tetap mendapat perlakuan yang adil.

Sejarah Regulasi Bunga P2P Lending di Indonesia

Sebelumnya, OJK menerbitkan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 19 Tahun 2023 tentang penyelenggaraan LPBBTI pada 10 November 2023. Aturan ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2024 dan mengatur penurunan bertahap suku bunga fintech P2P lending.

Suku bunga pinjaman konsumtif turun dari 0,4% per hari menjadi 0,3% per hari sejak 1 Januari 2024, kemudian dijadwalkan turun menjadi 0,2% per hari pada 2025 dan 0,1% pada 2026.

Untuk pinjaman produktif, bunga awal diturunkan menjadi 0,1% per hari dan dijadwalkan mencapai 0,067% pada 2026.

Namun, OJK kemudian menyesuaikan ketentuan tersebut mulai Januari 2025:

Suku bunga pinjaman konsumtif hingga enam bulan ditetapkan 0,3% per hari, sedangkan tenor lebih dari enam bulan 0,2% per hari.

Untuk pinjaman produktif mikro dan ultra mikro dengan tenor hingga enam bulan, bunga ditetapkan 0,275% per hari, lebih tinggi dibanding ketentuan awal SEOJK 19/2023.

Langkah penyesuaian ini memberi kelonggaran bagi pelaku fintech untuk tetap menyalurkan pinjaman produktif kepada segmen dengan risiko lebih tinggi.

Dampak Bunga P2P Terhadap Pertumbuhan Industri Fintech

Marcella menilai, suku bunga maksimum yang terlalu rendah dapat membatasi inovasi layanan P2P lending, terutama dalam mengembangkan produk untuk segmen peminjam baru. Dengan suku bunga saat ini, fintech masih memiliki fleksibilitas untuk menilai risiko dan menentukan harga pinjaman secara adil.

“Kebijakan bunga saat ini tidak memberatkan secara industri. Ruang ini penting agar fintech bisa tetap melayani peminjam baru, memperluas inklusi keuangan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi digital,” tambahnya.

Industri fintech P2P di Indonesia berkembang pesat dan memainkan peran signifikan dalam memperluas akses keuangan bagi masyarakat yang sebelumnya sulit mendapatkan kredit formal. Penyesuaian bunga yang bijak dianggap kunci untuk menjaga keseimbangan antara proteksi konsumen dan sustainabilitas bisnis fintech.

Keseimbangan antara Perlindungan Konsumen dan Industri

Findaya menegaskan bahwa tujuan kebijakan bunga bukan sekadar memaksimalkan keuntungan, tetapi untuk memastikan ekosistem P2P lending berkelanjutan. 

Skema bunga fleksibel memungkinkan pelaku industri menjangkau peminjam baru dengan risiko lebih tinggi, sementara peminjam yang telah memiliki track record baik mendapatkan bunga lebih rendah.

“Jadi kita minta ke OJK, bunga yang sekarang tetap. Bukan untuk kita ‘ngebuse’ user, tapi memberikan ruang untuk menjangkau user-user baru. Sementara user yang lama, pasti kita fair,” jelas Marcella.

Pendekatan ini dianggap sebagai model inovasi inklusif, di mana fintech tidak hanya berfokus pada profit semata, tetapi juga memperluas akses keuangan secara bertanggung jawab.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index