Rupiah

DPR dan Pemerintah Belum Satu Suara Soal Redenominasi Rupiah

DPR dan Pemerintah Belum Satu Suara Soal Redenominasi Rupiah
DPR dan Pemerintah Belum Satu Suara Soal Redenominasi Rupiah

JAKARTA - Rencana penyederhanaan nilai mata uang atau redenominasi rupiah kembali menjadi sorotan publik setelah masuk dalam rencana jangka menengah pemerintah dan Bank Indonesia. 

Namun, hingga kini, pandangan antarfraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum sepenuhnya sejalan. Sebagian pihak menilai redenominasi penting untuk modernisasi sistem keuangan nasional, sementara yang lain menilai kebijakan tersebut belum mendesak karena berisiko menimbulkan gejolak ekonomi.

Perbedaan pandangan ini menunjukkan bahwa wacana redenominasi masih membutuhkan sosialisasi dan kesiapan kebijakan yang matang sebelum benar-benar diterapkan.

Banggar DPR Minta Pemerintah Waspadai Risiko Inflasi

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menegaskan bahwa pemerintah perlu berhati-hati dalam menyiapkan kebijakan redenominasi. Ia mengingatkan bahwa proses penyederhanaan nominal rupiah bukan sekadar menghapus tiga angka nol di belakang nilai uang, tetapi menyangkut stabilitas ekonomi nasional.

“Kalau harga 280 dibulatkan 300 rupiah karena teknisnya tidak siap, ya inflatoirnya yang terjadi. Itu yang paling kami khawatirkan di Banggar,” ujarnya.

Menurut Said, tahapan kebijakan harus diawali dengan sosialisasi publik minimal satu tahun agar masyarakat memahami perbedaan antara redenominasi dan sanering (pemotongan nilai uang). Ia menilai kesalahpahaman publik dapat memunculkan kepanikan dan gangguan psikologis terhadap nilai rupiah.

Said juga menambahkan, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah belum akan dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2026, karena masih membutuhkan masa sosialisasi yang panjang. Setelah tahap tersebut selesai, pembahasan RUU baru akan dimulai pada 2027.

“[Kemudian] tujuh tahun proses redenominasinya ketika di undang-undangnya diterbitkan,” jelas politisi PDI Perjuangan itu.

Komisi XI DPR Dukung Redenominasi sebagai Langkah Modernisasi

Sementara itu, Komisi XI DPR RI menyatakan dukungan terhadap langkah pemerintah untuk menyederhanakan nilai nominal rupiah sebagai bagian dari reformasi sistem keuangan nasional. 

Ketua Komisi XI, Mukhamad Misbakhun, menilai redenominasi akan membantu meningkatkan efisiensi sistem pembayaran dan pencatatan keuangan, asalkan dilakukan secara bertahap dan terencana.

“Yang paling penting, Bank Indonesia harus memastikan stabilitas inflasi dan sistem pembayaran tetap terjaga selama proses perubahan,” ujar Misbakhun dalam keterangannya.

Politisi Partai Golkar itu mengusulkan agar Bank Indonesia (BI) melaksanakan uji coba terbatas (pilot project) di beberapa wilayah sebelum diterapkan secara nasional. Tujuannya untuk menilai kesiapan teknis dan memastikan transisi berjalan tanpa gangguan berarti.

Menurutnya, peta jalan (roadmap) redenominasi harus disusun dengan jelas, termasuk tahapan penggunaan uang lama dan uang baru, strategi komunikasi publik, serta jaminan kestabilan harga. Ia juga menyoroti pentingnya perlindungan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang paling rentan terhadap perubahan nominal harga.

“Kami ingin kebijakan ini berjalan hati-hati dan tidak menimbulkan gangguan di lapangan. Fokus utamanya adalah kejelasan tahapan dan kesiapan masyarakat,” tegasnya.

Pemerintah dan BI Tegaskan Redenominasi Tidak Ubah Nilai Riil Rupiah

Dari sisi pemerintah, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa kebijakan redenominasi sepenuhnya berada di bawah kewenangan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter. Ia menyebutkan bahwa penerapannya akan dilakukan sesuai kebutuhan dan kondisi ekonomi yang mendukung.

“Redenom itu kebijakan bank sentral, dan dia nanti akan terapkan sesuai dengan kebutuhan pada waktunya, tetapi enggak sekarang, enggak tahun depan,” kata Purbaya usai menghadiri Dies Natalies ke-71 Universitas Airlangga (Unair), Surabaya.

Sementara itu, Bank Indonesia memastikan bahwa redenominasi tidak akan mengurangi daya beli masyarakat maupun nilai tukar rupiah terhadap barang dan jasa.

Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menjelaskan bahwa redenominasi merupakan penyederhanaan jumlah digit pada pecahan uang tanpa mengubah nilai riilnya.

“Ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi transaksi, memperkuat kredibilitas rupiah, dan mendukung modernisasi sistem pembayaran nasional,” jelasnya.

Menurut Denny, rencana tersebut telah dimasukkan dalam Prolegnas Jangka Menengah 2025–2029, dan pembahasannya akan dilakukan secara terkoordinasi antara pemerintah, BI, dan DPR.

Ia menambahkan bahwa BI akan memastikan seluruh aspek—mulai dari stabilitas politik, kesiapan ekonomi, hingga kesiapan teknis—dipertimbangkan dengan matang sebelum kebijakan diterapkan.

“Bank Indonesia akan tetap fokus menjaga stabilitas nilai Rupiah dan mendukung pertumbuhan ekonomi selama proses redenominasi berlangsung,” tutupnya.

Kesiapan Jadi Kunci Menuju Transisi Mata Uang Nasional

Melihat perbedaan pandangan di antara lembaga negara, dapat disimpulkan bahwa redenominasi rupiah belum akan diwujudkan dalam waktu dekat. DPR, pemerintah, dan Bank Indonesia sepakat bahwa kesiapan sistem dan edukasi publik menjadi faktor penentu keberhasilan kebijakan ini.

Redenominasi diyakini tetap relevan untuk memperkuat citra dan efisiensi mata uang nasional, tetapi perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan gangguan harga atau ketidakpastian ekonomi.

Sementara proses legislasi dan sosialisasi tengah disiapkan, masyarakat diharapkan mulai memahami bahwa redenominasi bukan pemotongan nilai uang, melainkan penyederhanaan struktur nominal rupiah agar lebih mudah digunakan dalam sistem keuangan modern.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index