Startup China Akses Ribuan GPU lewat Indosat di Tengah Larangan

Senin, 17 November 2025 | 10:05:18 WIB
Startup China Akses Ribuan GPU lewat Indosat di Tengah Larangan

JAKARTA - Di tengah semakin ketatnya pengawasan Amerika Serikat terhadap peredaran teknologi canggih ke China, muncul dinamika baru yang menyoroti peran perusahaan global dalam rantai distribusi chip kecerdasan buatan (AI). 

Salah satu kasus yang mencuri perhatian adalah dugaan akses 2.300 GPU NVIDIA oleh startup asal China, INF Tech, melalui PT Indosat Tbk. (ISAT). 

Meski pembatasan ekspor telah diberlakukan pemerintahan AS terhadap penjualan chip Blackwell terbaru, investigasi sejumlah media menunjukkan celah dalam sistem distribusi global yang memungkinkan perusahaan China tetap memperoleh teknologi tersebut. 

Dari temuan inilah keterkaitan antara NVIDIA, Aivres, Indosat, dan INF Tech mulai mencuat ke publik.

Jejak Perjalanan GPU: Dari California ke Jakarta

Penelusuran Wall Street Journal (WSJ) dan Tom’s Hardware mengungkap bagaimana chip Blackwell dapat berada di Indonesia meskipun ada pembatasan ekspor. Perjalanan chip dimulai di California, tempat Nvidia menjual perangkat tersebut kepada Aivres, perusahaan berbasis di AS yang menjadi mitra mereka dalam pembuatan server AI. 

Aivres sendiri dikaitkan dengan Inspur—raksasa teknologi China yang masuk daftar hitam AS karena disebut memiliki kedekatan dengan militer China. Namun, karena Aivres berstatus perusahaan domestik AS, mereka tetap dapat melakukan penjualan selama mematuhi regulasi ekspor yang berlaku.

Dari Aivres inilah Indosat membeli 32 rak server Nvidia GB200, yang masing-masing berisi 72 chip Blackwell. Totalnya mencapai 2.304 GPU, dengan nilai transaksi sekitar US$100 juta atau setara Rp1,67 triliun (kurs Rp16.701). 

Menurut sumber WSJ, saat pembelian dilakukan, Aivres telah memiliki calon klien di Indonesia untuk chip tersebut, yakni INF Tech, startup China yang mengembangkan sistem AI untuk bidang keuangan dan kesehatan.

INF Tech dipimpin Qi Yuan, warga negara AS kelahiran China yang juga menjabat sebagai pimpinan institut AI di Universitas Fudan. 

Dalam negosiasi antara INF Tech dan Indosat, perwakilan Fudan dikabarkan turut hadir, meskipun kontrak—secara resmi—ditandatangani oleh INF Tech sebagai pihak klien. Server-server tersebut telah terpasang dan beroperasi di lokasi Indosat di Jakarta sejak Oktober 2025.

Respons Para Pihak: Penegasan Kepatuhan dan Klarifikasi

Menanggapi temuan WSJ, INF Tech menegaskan bahwa mereka tidak melakukan penelitian yang berkaitan dengan aplikasi militer. Perusahaan itu juga menyatakan telah mematuhi semua aturan kontrol ekspor AS yang berlaku. 

Hal ini penting untuk disampaikan mengingat latar belakang China–AS yang kerap memicu kecurigaan terhadap penggunaan teknologi strategis.

Di sisi lain, CEO Indosat, Vikram Sinha, memberikan penjelasan mengenai prinsip kerja sama yang diterapkan perusahaan. Ia menekankan bahwa Indosat bekerja dengan berbagai perusahaan multinasional tanpa membedakan negara asal. 

“Setiap pelanggan di luar Indonesia melalui regulasi yang sama, baik perusahaan AS maupun China. Jika memenuhi semua regulasi, kami mendukungnya,” ujar Vikram.

Tom’s Hardware menambahkan bahwa Indosat, INF Tech, dan Universitas Fudan tidak tercantum dalam Daftar Entitas AS. Oleh karena itu, transaksi ini dianggap sah berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. 

Meski demikian, legalitas tersebut tak sepenuhnya meredam kekhawatiran sebagian pihak yang menentang akses perusahaan China terhadap perangkat keras buatan AS.

Kekhawatiran Keamanan dan Kebijakan Ekspor AS

Kelompok penentang akses tersebut berargumen bahwa meskipun saat ini perusahaan seperti INF Tech tidak bekerja sama dengan Partai Komunis China (PKC) maupun militer, pemerintah China dapat sewaktu-waktu memaksa perusahaan swasta untuk berkolaborasi. 

Kekhawatiran ini berkaitan erat dengan peraturan AI Diffusion yang dirancang pemerintahan Biden untuk mencegah kebocoran teknologi strategis ke negara yang dianggap berisiko. Namun, aturan tersebut tidak diberlakukan dalam masa pemerintahan Donald Trump, yang saat ini kembali memimpin AS.

Di tengah kontroversi tersebut, NVIDIA justru mendorong kontrol ekspor yang lebih fleksibel. Bagi perusahaan ini, mempertahankan kepemimpinan AS di bidang AI memerlukan ekosistem global yang terbuka, termasuk dalam distribusi chip berperforma tinggi. 

Juru bicara Nvidia menegaskan bahwa tim kepatuhan perusahaan telah mengevaluasi dan menyetujui mitra yang memperoleh chip, termasuk Aivres. “Kami mendukung visi pemerintahan Trump untuk mengamankan kepemimpinan AI AS dan menciptakan lapangan kerja Amerika,” kata perwakilan perusahaan tersebut.

Pernyataan ini menjadi gambaran bagaimana NVIDIA berada dalam posisi dilematis: di satu sisi harus patuh pada regulasi pemerintah, namun di sisi lain membutuhkan pasar internasional yang luas untuk mempertahankan dominasinya di industri AI yang sangat kompetitif.

Sistem Global yang Kompleks di Tengah Ketegangan Geopolitik

Kasus INF Tech dan Indosat menunjukkan realitas bahwa rantai pasok teknologi canggih tidak hanya bergantung pada hubungan bilateral, tetapi juga melibatkan banyak aktor global dengan peran berbeda. 

Meskipun AS melarang penjualan chip tertentu ke China, celah dalam ekosistem distribusi—seperti melalui perusahaan AS yang bekerja dengan partner internasional—membuka jalur tak terduga dalam peredaran teknologi tersebut.

Pada saat yang sama, negara-negara seperti Indonesia juga mendapat sorotan karena posisinya sebagai bagian dari ekosistem itu. Meski transaksi dianggap legal, kekhawatiran tetap muncul mengingat sensitivitas teknologi AI yang dapat digunakan baik untuk aplikasi komersial maupun strategis.

Dengan terus berkembangnya teknologi dan geopolitik, diskusi mengenai kontrol ekspor, keamanan data, dan penggunaan AI kemungkinan besar akan semakin intens. Kasus ini menegaskan betapa pentingnya transparansi, pengawasan, serta perhatian terhadap dampak jangka panjang dari pergerakan teknologi lintas negara.

Terkini