JAKARTA - Kalau nikel bisa berbicara, mungkin ia akan tersenyum getir.
Dahulu, logam ini dianggap sebagai pengganggu bagi para penambang tembaga di Eropa, sehingga dijuluki kupfernickel atau “tembaga iblis.” Namun, seiring revolusi energi global, nikel justru menjadi komoditas paling dicari, terutama untuk industri kendaraan listrik (electric vehicle, EV).
Sejarah mencatat, jejak nikel pertama kali ditemukan pada 1751 oleh ilmuwan Swedia, Axel Fredrik Cronstedt, yang berhasil mengekstraknya dari bebatuan yang gagal dijadikan tembaga.
Nikel berwarna perak dan tahan karat, lalu menjadi bahan penting industri dunia, termasuk baja tahan karat yang digunakan untuk jembatan, rel kereta, dan pesawat tempur.
Namun, lonjakan permintaan nikel bukanlah karena perang atau revolusi industri, melainkan transisi global menuju energi bersih dan kendaraan listrik.
Kendaraan Listrik Dorong Permintaan Nikel Meroket
Dalam dua dekade terakhir, dunia mengalami ledakan EV, didorong target pemerintah global untuk mencapai zero emission. Baterai lithium-ion, inti dari kendaraan listrik, memerlukan nikel di katoda. Kandungan nikel tinggi memungkinkan baterai menyimpan lebih banyak energi dan memberikan jarak tempuh lebih jauh.
Menurut BloombergNEF Electric Vehicles Outlook, penjualan EV tahun ini mencapai 22 juta unit, naik sekitar 25 persen dari 2024. China mendominasi hampir dua pertiga pasar, diikuti Eropa 17 persen dan Amerika 7 persen.
Setiap mobil listrik rata-rata membutuhkan 25 hingga 40 kilogram nikel, sehingga pertumbuhan industri EV secara langsung mendorong lonjakan kebutuhan nikel global. International Energy Agency (IEA, 2024) memproyeksikan permintaan nikel akan melonjak dari 3,3 juta ton pada 2023 menjadi 6,2 juta ton pada 2040.
“Semakin banyak mobil listrik yang diproduksi, semakin besar kebutuhan dunia terhadap nikel berkualitas tinggi,” tulis laporan IEA. Fenomena ini tidak hanya mengubah pasar logam, tapi juga peta geopolitik dunia.
Indonesia: Pusat Cadangan dan Pemain Strategis
Indonesia muncul sebagai pemain kunci dalam revolusi nikel global. Data IEA (2024) menyebut Indonesia sebagai produsen nikel terbesar, baik dari segi penambangan maupun pemurnian. Pada 2030, negara ini diperkirakan menyuplai 62 persen produksi nikel dunia dan 44 persen pemurniannya.
Selain itu, menurut U.S. Geological Survey (2025), Indonesia memiliki sekitar 55 juta ton cadangan nikel, sebagian besar tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Wilayah ini kini menjadi episentrum baru ekonomi nasional berkat pengembangan industri nikel.
Selama beberapa dekade, Indonesia hanya mengekspor bijih nikel mentah ke Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan tanpa nilai tambah. Kesadaran akan potensi strategisnya baru muncul pada akhir 2010-an. Pada Januari 2020, ekspor bijih nikel mentah resmi dilarang melalui kebijakan hilirisasi, mendorong pengembangan industri pemurnian lokal.
Hilirisasi Nikel untuk Masa Depan Energi Hijau
Kebijakan hilirisasi menjadikan Indonesia tidak hanya sebagai produsen nikel, tetapi juga pemain utama rantai nilai baterai EV. Proyek smelter dan fasilitas pemurnian meningkatkan nilai tambah nikel domestik, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat ekonomi regional.
Hilirisasi ini sejalan dengan upaya global mengurangi ketergantungan kendaraan berbahan bakar fosil, sekaligus menjadikan nikel Indonesia sebagai komoditas strategis dalam transisi energi hijau. Pemerintah memandang nikel sebagai aset nasional untuk mendorong kemandirian energi dan mendukung revolusi kendaraan listrik.
Indonesia kini bukan sekadar pemasok bahan baku, tetapi juga tuan rumah industri baterai EV, dari pemurnian hingga produksi sel baterai. Strategi ini memberi peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi, inovasi teknologi, dan posisi tawar di pasar global.
Nikel Sebagai Tulang Punggung Energi Masa Depan
Dari logam yang dulu diremehkan hingga menjadi tulang punggung transisi energi global, nikel menunjukkan perjalanan transformasi luar biasa. Revolusi kendaraan listrik telah mengubah nilai nikel secara fundamental.
Bagi Indonesia, momentum ini bukan hanya soal produksi mineral, tetapi tentang strategi industri, kemandirian energi, dan posisi global dalam era hijau. Seiring permintaan kendaraan listrik meningkat, nikel menjadi lebih dari sekadar logam; ia adalah kunci masa depan energi bersih dunia.