JAKARTA - Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Kemenko PM) terus mendorong kolaborasi lintas pemangku kepentingan sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kepemilikan Perizinan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) pada bangunan pesantren.
Upaya ini penting untuk memastikan pesantren memiliki infrastruktur yang aman, layak, dan sesuai standar teknis yang berlaku.
Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daerah Tertinggal, dan Daerah Tertentu Kemenko PM, Abdul Haris, menegaskan bahwa langkah koordinasi ini dilakukan melalui Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) Percepatan Renovasi dan Rekonstruksi Bangunan Pesantren.
“Melalui rakorda ini akan diperoleh pemahaman bersama terkait mekanisme kolaborasi lintas pemangku kepentingan dalam upaya percepatan renovasi dan rekonstruksi bangunan pesantren,” ujar Haris di Jakarta, Rabu.
Rakorda ini menjadi wadah strategis untuk membangun pemahaman bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga terkait mengenai pentingnya standar bangunan pesantren.
Selain itu, forum ini juga dimaksudkan untuk merumuskan langkah-langkah percepatan pengurusan dokumen resmi seperti PBG dan SLF yang menjadi syarat utama bagi pesantren agar bisa menjalankan aktivitasnya dengan aman.
Tantangan Kepemilikan PBG dan SLF Pesantren
Menurut Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Basnang Said, saat ini baru ada 667 pesantren yang memiliki PBG, sedangkan SLF baru dimiliki oleh sekitar 170 pesantren.
Angka ini menunjukkan bahwa mayoritas pesantren masih menghadapi kendala dalam pemenuhan persyaratan administrasi maupun teknis bangunan.
Basnang menambahkan, sejumlah pesantren menghadapi kendala karena bangunan yang berusia tua dan tidak memenuhi standar teknis, serta lokasi yang berada di daerah rawan bencana. Faktor-faktor tersebut membuat proses pengurusan PBG dan SLF menjadi lebih kompleks.
Data ini menjadi dasar penting bagi pemerintah untuk menyiapkan intervensi yang tepat sasaran, baik dari sisi regulasi, teknis, maupun dukungan administratif.
Peran Pemerintah Daerah dalam Percepatan
Selain inisiatif dari pemerintah pusat, peran pemerintah daerah (pemda) dinilai krusial dalam mendukung percepatan pengurusan PBG dan SLF.
Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah II Kementerian Dalam Negeri, Suprayitno, menjelaskan bahwa pemda dapat memberikan dukungan melalui sosialisasi pentingnya kepemilikan dokumen resmi, pembinaan terhadap standar bangunan pesantren, serta memfasilitasi pesantren dalam proses pengurusan dokumen tersebut.
Sejalan dengan itu, Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, Dewi Chomistriana, menyatakan bahwa pemerintah daerah bahkan dapat mempercepat penerbitan PBG dan SLF bagi pesantren dengan memberikan dukungan teknis dan administratif yang memadai.
Dukungan ini diyakini akan membantu pesantren memperbaiki bangunan lama dan memastikan fungsi serta keselamatan penghuni.
Rekomendasi dan Strategi Percepatan
Hasil Rakorda menghasilkan sejumlah rekomendasi strategis untuk mempercepat kepemilikan PBG dan SLF pesantren. Beberapa langkah yang disepakati antara lain:
Penyusunan kesepakatan lintas kementerian/lembaga terkait pembebasan retribusi penerbitan PBG.
Penyusunan pedoman pelaksanaan percepatan renovasi dan rekonstruksi bangunan pesantren, yang menjadi acuan bagi seluruh pemangku kepentingan.
Koordinasi berkelanjutan antara pemerintah pusat dan daerah untuk memfasilitasi proses administrasi dan teknis bangunan pesantren.
Dengan adanya strategi tersebut, diharapkan jumlah pesantren yang memiliki PBG dan SLF akan meningkat secara signifikan. Upaya ini bukan hanya sekadar memenuhi persyaratan legal, tetapi juga memastikan bahwa seluruh aktivitas pendidikan dan pengasuhan santri berlangsung di lingkungan yang aman, sehat, dan berstandar.
Melalui kolaborasi yang intens antara kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, langkah percepatan renovasi dan rekonstruksi pesantren diharapkan mampu menjawab tantangan infrastruktur pesantren yang sudah menua, rawan bencana, dan belum memenuhi persyaratan teknis.
Pendekatan ini menjadi model bagaimana sinergi lintas pemangku kepentingan dapat memberikan dampak nyata bagi pendidikan diniyah di seluruh Indonesia.