Makna Filosofis di Balik Kuliner Campur-Campur Banyuwangi

Rabu, 12 November 2025 | 11:13:47 WIB
Makna Filosofis di Balik Kuliner Campur-Campur Banyuwangi

JAKARTA - Sekilas, kuliner Banyuwangi mungkin tampak “ramai” di atas piring—ada rujak yang bersatu dengan kuah soto, ada pula nasi pecel yang bersanding dengan rawon hitam pekat.

Namun di balik tampilan yang tidak lazim itu, tersimpan kisah panjang tentang identitas budaya dan semangat keterbukaan masyarakat Banyuwangi.

Tradisi kuliner “campur-campur” ini bukan sekadar urusan cita rasa, melainkan refleksi dari cara masyarakat Osing dan warga Banyuwangi pada umumnya memaknai perbedaan. Lewat makanan, mereka menegaskan bahwa percampuran justru bisa melahirkan harmoni dan keunikan rasa yang tak ditemukan di tempat lain.

1. Lontong Campur, Jejak Rasa yang Hanya Ada di Glenmore

Bicara soal kuliner campur di Banyuwangi, tak lengkap tanpa menyebut lontong campur Glenmore. Hidangan ini hanya bisa ditemukan di kawasan Glenmore dan menjadi salah satu ikon kuliner lokal yang diwariskan lintas generasi.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Taufik Hidayat, menegaskan keunikan sajian ini.

“Lontong campur Glenmore itu legend kalau di sini, karena di daerah lain tidak ada. Kalau ingin makan lontong campur, harus ke Glenmore,” ujarnya.

Keistimewaan lontong campur terletak pada perpaduan rasa dan tekstur—lontong yang lembut disiram bumbu kacang khas Banyuwangi, dilengkapi sayur kuah santan dan irisan daging yang gurih. Semua komponennya berpadu tanpa saling menutupi.

Taufik menjelaskan bahwa bumbu kacang dibuat secara tradisional, diulek manual, bukan instan, sehingga tingkat kepedasannya bisa disesuaikan. 

“Lontongnya enak lembut, tidak seperti lontong biasa, lontongnya memang dibuat khusus,” katanya. Di Glenmore, lontong campur mudah ditemui dari pagi hingga malam, baik di area pasar maupun di sekitar stasiun.

2. Dari Rujak Soto hingga Pecel Rawon, Wujud Akulturasi di Piring

Fenomena “campur-campur” tak hanya terbatas pada lontong. Banyuwangi juga punya dua kuliner legendaris yang menjadi simbol keberagaman rasa: rujak soto dan pecel rawon.

Dalam buku Jendela Indonesia: Campur-Mencampur Ala Banyuwangi-an (Litbang Kompas, 2021), dijelaskan bahwa kedua makanan ini mencerminkan hasil akulturasi kuliner antar daerah. 

Rujak soto merupakan kombinasi rujak ulek atau rujak cingur dengan kuah soto, sedangkan pecel rawon menyatukan pecel khas Madiun dan rawon khas Surabaya dalam satu sajian.

Seporsi pecel rawon berisi nasi, sayuran rebus seperti bayam, taoge, dan kacang panjang yang disiram sambal pecel. Di atasnya, kuah rawon hitam pekat dituang, menciptakan perpaduan rasa gurih, manis, dan sedikit pahit dari kluwek. Pelengkap seperti empal, paru goreng, udang, hingga rempeyek kacang menambah kekayaan tekstur.

Di Banyuwangi, mencampur bukan berarti sembarang menggabung, melainkan menyatukan unsur berbeda menjadi harmoni baru. Rasa yang lahir dari percampuran ini menggambarkan karakter masyarakat yang terbuka terhadap pengaruh luar tanpa kehilangan jati diri lokalnya.

3. Filosofi Campur-Campur: Cerminan Masyarakat yang Adaptif

Menurut budayawan Banyuwangi Aekanu Hariyono, tradisi kuliner campur mencerminkan perjalanan panjang interaksi budaya di wilayah ujung timur Pulau Jawa ini.

“Seni mencampur makanan di Banyuwangi nyatanya tidak hanya perihal rasa makanan. Tetapi ada hubungannya dengan tradisi dan budaya setempat,” ujarnya saat ditemui di Pendapa Sabha Swagata Blambangan.

Banyuwangi dikenal sebagai rumah bagi berbagai suku dan budaya, termasuk masyarakat Osing. Meski dahulu dikenal sebagai kelompok yang menjaga tradisi, masyarakat Osing sebenarnya sangat adaptif dan fleksibel.

“Tapi kenyataannya masyarakat itu adaptif. Buktinya apa? Keseniannya dicampur juga, sampai kepada makanannya,” lanjut Aekanu.

Akulturasi budaya inilah yang melahirkan berbagai hidangan unik yang kini menjadi identitas kuliner Banyuwangi. “Jadi intinya, orang Osing itu orang yang fleksibel, orang yang adaptif, orang yang menerima apa pun. Saya yakin mereka mencoba mencampur makanan, dan ternyata enak lalu menjadi populer,” katanya.

Dengan kata lain, kuliner campur-campur menjadi simbol keterbukaan budaya. Dari meja makan, masyarakat Banyuwangi menunjukkan semangat menerima perbedaan dan menjadikannya kekuatan.

4. Campuran Rasa, Simbol Keberagaman yang Menguatkan Identitas

Melihat lebih dalam, pola campur-mencampur dalam kuliner Banyuwangi sejatinya menggambarkan filosofi hidup masyarakatnya. Campuran bahan dan bumbu yang beragam mencerminkan realitas sosial Banyuwangi—sebuah daerah yang tumbuh dari interaksi banyak etnis, dari Osing, Jawa, Madura, hingga Bali.

Lewat hidangan seperti rujak soto atau pecel rawon, masyarakat Banyuwangi menegaskan bahwa keberagaman bukanlah sumber perpecahan, melainkan kekuatan yang menyatukan.
Campuran rasa bukan tanda kekacauan, tetapi bentuk keserasian yang lahir dari penerimaan.

Tak heran jika setiap hidangan khas Banyuwangi memiliki cita rasa kompleks namun tetap seimbang. Perpaduan manis, pedas, gurih, dan asam menjadi metafora kehidupan masyarakatnya yang berwarna, namun tetap berdampingan dalam harmoni.

Lebih dari sekadar urusan kuliner, tradisi campur-campur juga menjadi identitas budaya yang memperlihatkan cara orang Banyuwangi memaknai keberagaman. Dalam satu piring makanan, mereka mengajarkan bahwa setiap perbedaan bisa berpadu menjadi sesuatu yang indah—asal diolah dengan hati terbuka.

Piring sebagai Cermin Toleransi

Dari lontong campur hingga pecel rawon, dari rujak soto hingga kuliner lain yang “bertabrakan rasa”, semua menyiratkan filosofi yang sama: Banyuwangi adalah rumah bagi keberagaman yang berpadu harmonis. 

Tradisi mencampur bahan makanan bukan sekadar kreativitas dapur, tetapi simbol bagaimana masyarakat setempat menyambut perubahan tanpa kehilangan akar budaya.

Bagi wisatawan, mencicipi kuliner Banyuwangi berarti lebih dari sekadar menikmati rasa—itu adalah pengalaman memahami jiwa masyarakat yang terbuka, ramah, dan penuh warna. Di setiap sendok rujak soto atau lontong campur, tersimpan cerita panjang tentang bagaimana rasa dan budaya menyatu dalam keindahan yang sederhana.

Terkini