JAKARTA - Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Rabu, 12 November 2025, kembali menunjukkan fluktuasi dengan kecenderungan melemah.
Di tengah berbagai tekanan eksternal dan faktor domestik, rupiah ditutup di kisaran Rp16.690–Rp16.730 per dolar AS, menandai lanjutan tren pelemahan yang telah terjadi sejak awal tahun.
Kondisi ini memperlihatkan tantangan ganda bagi ekonomi nasional—di satu sisi pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berupaya menjaga pertumbuhan, namun di sisi lain kestabilan nilai tukar masih tertekan oleh dinamika global dan kebijakan moneter di negara maju.
Rupiah Melemah 3,5 Persen Sejak Awal Tahun
Menurut data perdagangan, mata uang Garuda ditutup melemah 40 poin ke level Rp16.694 per dolar AS. Berdasarkan catatan Bloomberg, rupiah telah terkoreksi sekitar 3,5 persen sejak awal tahun—menjadikannya salah satu mata uang dengan kinerja terlemah di Asia.
Analis menilai, pelemahan ini tidak terlepas dari kombinasi beberapa faktor, seperti pemangkasan suku bunga, kekhawatiran atas independensi bank sentral, serta meningkatnya risiko fiskal nasional.
Ahli strategi Citigroup, sebagaimana dikutip Bloomberg, memperkirakan tekanan terhadap rupiah masih akan berlanjut dalam jangka pendek. Menurut mereka, Bank Indonesia (BI) kini lebih fokus mendukung pertumbuhan ekonomi dibandingkan menjaga stabilitas kurs, sementara neraca perdagangan nasional tengah tertekan akibat gangguan operasional tambang Freeport-McMoRan Inc.
Faktor Eksternal: Sentimen AS dan Ketegangan Geopolitik
Pengamat mata uang dan komoditas PT Traze Andalan Futures, Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa pergerakan rupiah dipengaruhi kombinasi faktor eksternal dan internal.
Dari sisi eksternal, sentimen positif datang dari Amerika Serikat setelah Senat AS menyetujui rancangan undang-undang (RUU) pendanaan pemerintah untuk mengakhiri penutupan pemerintah (government shutdown) terpanjang dalam sejarah yang telah berlangsung 41 hari.
RUU tersebut akan dibawa ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR AS) untuk disahkan sebelum dikirim kepada Presiden Donald Trump.
“Berakhirnya penutupan pemerintah akan membuka jalan bagi rilis data ekonomi resmi AS yang selama ini tertunda, sehingga memberi pasar petunjuk baru mengenai arah ekonomi terbesar dunia tersebut,” ujar Ibrahim.
Pasar global juga tengah menanti keputusan The Federal Reserve terkait kemungkinan penurunan suku bunga acuan pada Desember mendatang. Namun, dalam pertemuan Oktober lalu, The Fed menegaskan belum akan melakukan pemangkasan di tengah ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi.
Di sisi geopolitik, tensi di Eropa kembali meningkat setelah Ukraina melancarkan serangan drone terhadap infrastruktur energi Rusia, yang langsung dibalas oleh Moskow. Konflik yang telah memasuki tahun ketiga itu menekan stabilitas kawasan, sekaligus mendorong kenaikan harga minyak dunia akibat terganggunya pasokan energi dari Rusia.
Faktor Domestik: Redenominasi Rupiah Masih dalam Tahap Kajian
Dari dalam negeri, pelaku pasar juga menyoroti isu rencana redenominasi rupiah, yang belakangan kembali mencuat. Kementerian Keuangan memastikan kebijakan tersebut belum akan diterapkan dalam waktu dekat.
Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029, yang menargetkan penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) pada tahun 2026.
Sementara itu, Bank Indonesia menyatakan bahwa proses pembahasan dasar hukum redenominasi akan dilakukan bersama pemerintah dan DPR RI, dengan mempertimbangkan stabilitas politik, ekonomi, sosial, serta kesiapan teknis nasional.
Redenominasi, dijelaskan BI, merupakan penyederhanaan jumlah digit nominal rupiah tanpa mengubah daya beli masyarakat. Langkah ini dipandang strategis untuk meningkatkan efisiensi transaksi, memperkuat kredibilitas mata uang, dan mendukung modernisasi sistem pembayaran nasional.
Pergerakan Kurs di Empat Bank Besar
Pada perdagangan pagi hari, data kurs e-rate dan special rate dari empat bank besar nasional menunjukkan pergerakan yang bervariasi:
Bank Rakyat Indonesia (BRI) mencatat kurs beli dolar AS Rp16.598 dan kurs jual Rp16.750.
Bank Central Asia (BCA) menetapkan kurs beli Rp16.703 dan kurs jual Rp16.723.
Bank Negara Indonesia (BNI) memperbarui kurs pada pukul 09.35 WIB, dengan kurs beli Rp16.703 dan kurs jual Rp16.733.
Bank Mandiri mencatat special rate pada pukul 09.15 WIB, di level Rp16.700 untuk pembelian dan Rp16.720 untuk penjualan.
Sementara itu, menurut data Bloomberg pukul 09.06 WIB, rupiah sempat berada di level Rp16.715 per dolar AS, melemah 0,13 persen atau turun 21 poin dibandingkan posisi sebelumnya.
Outlook: Tantangan Rupiah di Akhir Tahun
Tekanan terhadap rupiah diperkirakan masih akan berlanjut hingga akhir 2025, seiring ketidakpastian global dan ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter domestik. Namun, stabilitas ekonomi makro dan cadangan devisa yang masih kuat memberi ruang bagi BI untuk menjaga keseimbangan di pasar valas.
Analis memperkirakan, level Rp16.700–Rp16.800 per dolar AS akan menjadi rentang utama pergerakan rupiah dalam beberapa pekan ke depan. Faktor utama yang perlu diwaspadai mencakup arah kebijakan suku bunga The Fed, dinamika geopolitik global, serta kinerja ekspor nasional.
Bagi pelaku pasar dan pelaku usaha, kondisi fluktuatif ini menuntut strategi lindung nilai (hedging) yang lebih cermat untuk menjaga kestabilan portofolio dan biaya impor.
Meskipun tekanan masih terasa, sebagian analis tetap optimistis rupiah dapat kembali menguat secara bertahap pada kuartal pertama 2026, terutama bila neraca perdagangan berbalik positif dan ketidakpastian global mulai mereda.