Transisi Energi Indonesia Jalan di Tempat, Batubara Masih Jadi Andalan

Rabu, 12 November 2025 | 09:13:36 WIB
Transisi Energi Indonesia Jalan di Tempat, Batubara Masih Jadi Andalan

JAKARTA - Dorongan untuk meninggalkan energi fosil semakin keras terdengar dalam ajang Konferensi Iklim PBB (COP30) yang berlangsung di Belém, Brasil. 

Sekretaris Eksekutif United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Simon Stiell, mengingatkan bahwa waktu untuk beralih ke energi baru terbarukan (EBT) sudah semakin sempit.

Dalam pidato pembukaannya, Stiell menegaskan tidak ada lagi alasan bagi negara-negara dunia untuk menunda pelaksanaan komitmen Perjanjian Paris. Negara harus berfokus mempercepat transisi energi berkeadilan, mengingat krisis iklim kini telah menelan jutaan korban jiwa di berbagai belahan dunia.

“Ketika bencana iklim merenggut nyawa jutaan orang saat kita sudah memiliki solusinya, hal ini tidak akan pernah dimaafkan. Ekonomi dari transisi ini sama tak terbantahkannya dengan biaya dari ketidakpedulian,” ujar Stiell.

Menurutnya, peralihan menuju energi bersih bukan sekadar keharusan moral, tetapi juga peluang ekonomi. Sumber energi seperti tenaga surya dan angin kini menjadi opsi dengan biaya paling rendah di 90 persen negara di dunia. 

Tak hanya itu, investasi global untuk sektor energi bersih dan infrastrukturnya juga telah melampaui pendanaan energi fosil, menandakan arah baru perekonomian dunia yang semakin hijau.

Namun, di tengah desakan global itu, Indonesia justru masih menunjukkan ketergantungan besar pada bahan bakar fosil, terutama batu bara.

Indonesia Masih Nyaman dengan Batu Bara dan Gas Bumi

Meskipun telah menandatangani berbagai kesepakatan internasional, termasuk komitmen Net Zero Emission (NZE) 2060, kenyataannya batu bara masih mendominasi bauran energi nasional. Bahkan, penggunaan gas bumi cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Menurut Country Director Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan energi nasional belum selaras dengan semangat COP dan Perjanjian Paris.

“Kebijakan transisi energi Indonesia sejatinya tidak dibangun atas kesadaran bahwa krisis dan bencana-bencana iklim sudah mengancam kemanusiaan kita. Tetapi lebih didasarkan pada politik transaksional yang lebih mengakomodasi kepentingan-kepentingan oligarki energi fosil,” ujar Leonard.

Leonard menilai, pemerintah justru memperpanjang dominasi batu bara melalui kebijakan energi yang memberi ruang luas bagi industri fosil. Hal ini membuat transisi energi di Indonesia masih bersifat retoris, bukan transformasi nyata.

Kebijakan Energi Nasional Dinilai Kontradiktif dengan Komitmen Global

Kritik terhadap arah kebijakan energi nasional juga datang dari Direktur Eksekutif CERAH, Agung Budiono, yang menyoroti ketidaksinkronan antara komitmen politik dan kebijakan teknis pemerintah.

Ia menyebut, meskipun Presiden Prabowo Subianto dalam sejumlah forum internasional menyatakan target untuk beralih 100 persen ke energi terbarukan dalam satu dekade mendatang, namun realisasi kebijakannya justru menunjukkan arah sebaliknya.

“Jika tidak ada koreksi menyeluruh, maka pernyataan politik Presiden Prabowo hanya akan berhenti sebagai retorika tanpa pijakan kebijakan yang nyata,” kata Agung.

Dalam berbagai dokumen strategis seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034, 

serta Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025–2045, batu bara dan gas bumi masih menjadi sumber utama pasokan energi nasional — bahkan lebih dari 60 persen hingga dua dekade mendatang.

Padahal, komitmen Indonesia yang tertuang dalam Second Nationally Determined Contribution (SNDC) untuk COP30 serta target NZE 2060 atau lebih cepat, menuntut adanya reformasi kebijakan yang lebih berani. Tanpa penyesuaian antara komitmen global dan kebijakan domestik, Indonesia berisiko kehilangan kredibilitas di mata internasional.

Data ESDM: Batu Bara Masih Jadi Raja Energi Nasional

Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per 2024, bauran energi primer Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar fosil. Batu bara menyumbang 40,37 persen, diikuti oleh minyak bumi sebesar 28,82 persen, gas bumi 16,17 persen, dan EBT baru mencapai 14,65 persen.

Angka tersebut memperlihatkan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap energi kotor masih sangat tinggi, sementara perkembangan energi bersih berjalan lambat. 

Padahal, menurut berbagai studi internasional, peralihan ke energi hijau dapat menciptakan jutaan lapangan kerja baru, memperkuat ketahanan energi, dan menekan biaya jangka panjang.

Sayangnya, kebijakan dalam negeri masih banyak dipengaruhi oleh kepentingan industri batubara yang memiliki posisi dominan dalam perekonomian nasional. Kondisi ini menciptakan paradoks antara ambisi global dan kenyataan lapangan.

Leonard Simanjuntak menegaskan, tanpa perubahan paradigma dalam kebijakan energi nasional, Indonesia hanya akan terus “nyaman” dengan status quo yang tidak berkelanjutan.

Sementara itu, Simon Stiell dalam forum COP30 kembali menegaskan bahwa waktu dunia semakin sempit untuk bertindak.

“Sudah saatnya kita bergerak lebih cepat. Krisis iklim tidak menunggu kesiapan kita, dan sejarah akan menilai seberapa serius kita menghadapi tantangan ini,” ujar Stiell menutup pidatonya.

Tantangan Transisi: Antara Komitmen Global dan Kepentingan Domestik

Indonesia kini dihadapkan pada dilema besar: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan energi nasional dengan komitmen global untuk menekan emisi karbon.

Pemerintah memang telah memperkenalkan sejumlah inisiatif seperti pengembangan bioetanol, program co-firing PLTU, dan investasi energi surya, namun langkah-langkah tersebut masih bersifat parsial dan belum mengubah peta dominasi energi fosil secara signifikan.

Untuk benar-benar beralih menuju ekonomi hijau, para pengamat menilai dibutuhkan reformasi struktural dalam tata kelola energi nasional, termasuk keberanian mengurangi ketergantungan pada batu bara serta insentif besar untuk percepatan EBT.

Tanpa langkah nyata, janji transisi energi Indonesia akan tetap menjadi retorika politik di panggung internasional — sementara dunia terus bergerak menuju era energi bersih.

Terkini