JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus menegaskan komitmen pemerintah untuk menekan ketergantungan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) sekaligus mewujudkan swasembada energi nasional.
Upaya ini mencakup berbagai strategi, mulai dari pengaturan kuota impor hingga pengembangan energi alternatif. Langkah-langkah tersebut diharapkan tidak hanya menjaga stabilitas pasokan BBM, tetapi juga mendukung kemandirian energi jangka panjang.
Salah satu inisiatif konkrit adalah mediasi antara pengelola Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta dengan Pertamina.
Mediasi ini memastikan kebutuhan BBM terpenuhi tanpa harus menambah kuota impor. Selain itu, Kementerian ESDM fokus pada peningkatan produksi minyak domestik serta penerapan mandatori E10, yaitu campuran etanol 10% pada bensin, sebagai solusi strategis mengurangi ketergantungan pada bahan bakar impor.
Mengatasi Ketergantungan Impor BBM
Triwulan keempat 2025 menjadi momentum penting bagi pengendalian kuota impor BBM. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas), Laode Sulaeman, mengungkapkan bahwa mediasi berhasil mengatasi polemik kuota, di mana SPBU swasta seperti Vivo dan BP-AKR kini dapat melakukan pemesanan tambahan dari Pertamina Patra Niaga.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menekankan, kuota impor milik Pertamina dapat dimanfaatkan sebagian oleh SPBU swasta untuk menjaga ketersediaan BBM hingga Desember 2025. Data Kementerian ESDM menunjukkan Indonesia masih mengimpor 330 juta barel minyak pada 2024, sedangkan produksi nasional hanya 212 juta barel.
Ketimpangan ini menegaskan perlunya langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan impor, termasuk mempertimbangkan tambahan 10% kuota impor bagi SPBU swasta pada 2026.
Mandatori E10, Langkah Strategis Swasembada Energi
Peningkatan produksi minyak nasional menjadi perhatian utama pemerintah. Hingga September 2025, produksi berhasil mencapai 619 ribu barel per hari, melampaui target APBN 2025 sebesar 605 ribu bph. Eksplorasi lebih agresif dilakukan melalui penawaran 75 blok migas dengan skema gross split kompetitif.
Namun, Menteri Bahlil menekankan bahwa terobosan lain diperlukan untuk mengurangi impor BBM. Mandatori E10, dengan kandungan etanol 10%, ditargetkan pada 2027 sebagai energi nabati alternatif.
Mandatori ini penting karena pada 2024, sekitar 62,23% pasokan bensin masih diimpor, dan proyeksi impor diperkirakan naik menjadi 66,10% pada 2030 tanpa inovasi.
Keberhasilan program B40 menjadi landasan kuat untuk pengembangan bioetanol, di mana pemanfaatan biodiesel telah menghemat devisa sekitar 40,71 miliar dolar AS sejak 2020.
Kesiapan Industri dan Manfaat Lingkungan Mandatori E10
Untuk mendukung mandatori E10, diperlukan bahan baku etanol sebanyak 1,4 juta kiloliter, yang diprioritaskan diproduksi oleh industri domestik dari tebu, jagung, dan singkong. Pemerintah berencana membangun pabrik di Merauke dan memberikan insentif investasi untuk mempercepat ketersediaan bahan baku.
Peneliti ITB, Prof. Ronny Purwadi, menjelaskan etanol bersifat higroskopis namun tidak korosif. Kandungan sulfur rendah dan emisi CO2 lebih sedikit, sehingga lebih ramah lingkungan. Kendaraan keluaran tahun 2000 ke atas sudah kompatibel dengan E10, dan uji coba akan dilakukan bersama industri otomotif.
Langkah terpadu pemerintah dari pengaturan kuota impor, peningkatan produksi, hingga pengembangan energi bersih menunjukkan keseriusan dalam menekan impor BBM dan mencapai swasembada energi. Menteri Bahlil menegaskan, “Untuk Merah Putih, jangankan selangkah, sejengkal pun kita tidak boleh mundur dari tekanan mana pun!”