JAKATA - Pemerintah resmi menutup masa berlaku insentif impor mobil listrik Completely Built Up (CBU) per 31 Desember 2025. Kebijakan yang sebelumnya diberlakukan sejak Februari 2024 ini memberikan peluang bagi enam produsen otomotif global untuk membawa masuk kendaraan listrik ke Indonesia.
Namun, kelonggaran tersebut bukan tanpa konsekuensi. Setelah periode insentif selesai, kini giliran pemerintah menagih janji para produsen untuk benar-benar membangun basis produksi di dalam negeri.
Dari Impor ke Produksi Lokal
Insentif CBU yang berlaku hampir dua tahun terakhir pada dasarnya bersifat sementara. Produsen yang memanfaatkannya wajib menyetorkan “uang jaminan” dalam bentuk bank garansi.
Mekanismenya jelas: jumlah mobil listrik yang diimpor harus sebanding dengan jumlah kendaraan yang diproduksi di Indonesia pada periode berikutnya.
Dengan berakhirnya masa insentif, aturan itu mulai berlaku efektif per 1 Januari 2026 hingga 31 Desember 2027. Selama rentang waktu dua tahun tersebut, para produsen diwajibkan memenuhi kuota produksi sesuai peta jalan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang sudah ditetapkan pemerintah. Jika gagal, penalti melalui pencairan bank garansi siap diberlakukan.
Enam Produsen dalam Satu Komitmen
Program insentif ini dimanfaatkan oleh enam produsen otomotif besar:
BYD Auto Indonesia (BYD)
Vinfast Automobile Indonesia (Vinfast)
Geely Motor Indonesia (Geely)
Era Industri Otomotif (Xpeng)
National Assemblers (mengelola Aion, Citroën, Maxus, dan VW)
Inchcape Indomobil Energi Baru
Keenamnya kini berada pada fase penting. Mereka tidak hanya dituntut untuk membuktikan keseriusan masuk ke pasar Indonesia, tetapi juga memperlihatkan komitmen nyata dalam membangun industri kendaraan listrik nasional.
Optimisme Pemerintah
Meski terdapat kekhawatiran soal kesiapan produsen, pemerintah tetap menaruh keyakinan bahwa kewajiban tersebut bisa dipenuhi. Rahmat Kaimuddin, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar, Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah, menyatakan optimisme bahwa para peserta program akan menepati janji mereka.
Menurutnya, kehadiran produsen otomotif kelas dunia menunjukkan minat kuat terhadap pasar Indonesia yang memiliki potensi besar di era elektrifikasi. “Kami yakin mereka bisa memenuhi kewajibannya,” ujarnya menegaskan.
Tantangan di Lapangan
Namun, optimisme itu bukan berarti jalan mulus tanpa hambatan. Pembangunan pabrik, penyesuaian teknologi, hingga pemenuhan TKDN membutuhkan investasi yang tidak kecil. Selain itu, keterlibatan ekosistem industri pendukung — mulai dari pemasok komponen tier 1 hingga tier 3 — juga memerlukan waktu untuk tumbuh.
Jika para produsen tidak bergerak cepat, risiko gagal memenuhi target produksi bisa menghantui. Kondisi ini bukan hanya berdampak pada reputasi produsen, tetapi juga bisa menimbulkan ketidakpercayaan investor terhadap iklim kebijakan otomotif Indonesia.
BYD dan Pemain Besar Lainnya
Dari keenam peserta, BYD kerap menjadi sorotan karena agresif memperluas ekspansi di berbagai negara. Di Indonesia, keberhasilan BYD memenuhi kewajibannya akan menjadi tolok ukur keseriusan produsen kendaraan listrik global membangun basis produksi di Asia Tenggara.
Hal serupa berlaku bagi Vinfast, Geely, dan pemain lain. Kinerja mereka dalam periode 2026–2027 akan menjadi cerminan sejauh mana program insentif CBU benar-benar mampu mendorong industrialisasi kendaraan listrik di tanah air.
Efek Ganda bagi Perekonomian
Pemerintah menekankan bahwa komitmen produksi lokal tidak hanya soal menghadirkan pabrik mobil listrik. Lebih dari itu, kehadiran industri manufaktur akan menciptakan efek berganda (multiplier effect) ke berbagai sektor.
Rantai pasok komponen dalam negeri akan terdorong, peluang kerja baru terbuka, dan transfer teknologi dari prinsipal asing bisa terjadi. Semua ini akan mendukung target pemerintah menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat produksi kendaraan listrik di kawasan.
Risiko Jika Gagal
Namun, skema bank garansi yang diterapkan juga memberi sinyal tegas. Bila produsen tidak mampu memenuhi komitmennya, dana jaminan yang mereka setor akan dicairkan. Mekanisme ini diharapkan mampu menekan risiko komitmen kosong dan memastikan hanya produsen serius yang bertahan.
Hal ini menjadi krusial, mengingat sebelumnya ada kekhawatiran bahwa insentif impor hanya dimanfaatkan sebagai cara instan memasok mobil listrik ke pasar tanpa niat membangun industri dalam negeri.
Momentum Menuju 2027
Dengan berakhirnya insentif di penghujung 2025, dua tahun ke depan akan menjadi fase pembuktian. Pemerintah, industri, dan publik sama-sama menantikan realisasi pabrik mobil listrik di berbagai wilayah Indonesia.
Jika keenam produsen berhasil memenuhi janji mereka, maka kebijakan insentif CBU bisa dianggap sukses sebagai batu loncatan menuju kemandirian industri kendaraan listrik nasional. Sebaliknya, jika target meleset, evaluasi besar-besaran terhadap strategi kebijakan otomotif akan sulit dihindarkan.
Penutupan insentif impor mobil listrik CBU menandai dimulainya babak baru industri otomotif di Indonesia. Kini, komitmen produsen global seperti BYD, Vinfast, Geely, Xpeng, National Assemblers, dan Inchcape Indomobil benar-benar diuji.
Optimisme pemerintah sejalan dengan harapan publik bahwa kehadiran pabrik mobil listrik di tanah air bukan sekadar wacana. Keberhasilan atau kegagalan pada periode 2026–2027 akan menentukan arah masa depan ekosistem kendaraan listrik Indonesia.